Langsung ke konten utama

Jejak Kerajaan Sanggar: Transisi Pusat Pemerintahan dan Catatan Perjalanan Sejarahnya

Asia Tenggara memang menjadi pusat aktivitas perdagangan yang signifikan pada periode tersebut, terutama karena letak geografisnya yang strategis dan keragaman produk ekspor yang dimilikinya. Sumbawa, meskipun buktinya sedikit, juga turut serta dalam perdagangan tersebut. Pulau ini terkenal karena kekayaan alamnya, terutama kayu secang/sapan, yang menjadi salah satu komoditas utamanya.

Selain kayu secang/sapan, Sumbawa juga menghasilkan berbagai produk ekspor lainnya seperti beras, lilin lebah, madu, sarang burung walet, garam, kapas, dan bahkan kuda berkualitas tinggi. Wilayah Sumbawa, termasuk Bima, Kore (Sanggar), dan Sumbawa Barat, menjadi tujuan bagi para pembeli yang mencari kuda berkualitas tinggi. Meskipun Sumbawa bukanlah pusat perdagangan utama seperti Jawa, tetapi orang Sumbawa dikenal dalam perdagangan maritim dan menjadi bagian dari jaringan perdagangan yang meluas di Asia Tenggara.

Peran Makassar sebagai pusat perdagangan yang penting di Sulawesi Selatan memang sangat signifikan, terutama setelah terjadi pergeseran pusat perdagangan dari Pulau Jawa ke daerah-daerah lain pada abad ke-17. Ketika pusat-pusat perdagangan di Pulau Jawa mengalami gejolak politik, Makassar menjadi emporium yang vital dan cepat berkembang, menjadikannya sebagai kerajaan maritim yang memiliki jangkauan perdagangan yang luas.

Pedagang dari Makassar memainkan peran kunci dalam memperluas jaringan perdagangan regional. Mereka berlayar ke Sumbawa untuk membeli berbagai barang, termasuk kain Bima, kuda, kerbau, bibit genitri, dan kayu secang. Barang-barang tersebut kemudian diperdagangkan kembali ke berbagai wilayah, seperti kain Bima yang diekspor ke Manila, Pasir, dan Kutai di Spanyol, kayu secang yang dijual ke Makau Portugis, serta kain kore yang dipasarkan di Maluku, Ternate, dan Papua.

Kehadiran para pedagang Jawa di daerah tersebut juga memberikan warna pada pengaruh budaya dan perdagangan di wilayah-wilayah seperti Ende. Mereka tidak hanya datang untuk berdagang, tetapi juga untuk mengambil perbekalan dan menjalin hubungan dagang yang saling menguntungkan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran Makassar dalam menghubungkan berbagai wilayah perdagangan di Nusantara pada masa itu.

Pentingnya Sumbawa dalam perdagangan regional menjadi salah satu faktor yang mendukung pengaruhnya dalam proses Islamisasi, karena kontak yang intens dengan wilayah lain membuka peluang bagi penyebaran agama Islam di pulau tersebut.

Produksi kain kasar dengan berbagai warna oleh penduduk setempat menjadi salah satu aset perdagangan yang penting di wilayah tersebut. Kain-kain ini kemudian dibawa oleh pedagang Jawa ke wilayah lebih jauh, termasuk ke Maluku. Di sana, masyarakat Seram menjadi salah satu pelanggan utama kain tersebut, khususnya kain Sumbawa Timur, yang mereka pilih atas alternatif lainnya.

Selain kain, budak perempuan juga menjadi barang dagangan yang diminati oleh para pedagang, terutama di daerah Banda dan tempat lainnya. Penduduk setempat yang dijelaskan sebagai orang kafir, dalam konteks ini mungkin mengacu pada mereka yang belum memeluk agama Kristen atau Islam.

Para pedagang Jawa membayar penduduk setempat, seperti orang Bima dan Kore, dengan perhiasan perak atau emas. Hal ini menunjukkan adanya sistem perdagangan yang beragam di mana berbagai barang dagangan, baik barang mewah maupun kebutuhan sehari-hari, dipertukarkan antara berbagai kelompok masyarakat di wilayah perdagangan tersebut. Dengan demikian, pulau Sumbawa secara aktif terlibat dalam perdagangan jarak jauh selama periode yang dikenal sebagai 'zaman perdagangan' di Asia Tenggara.

Pada abad ke-18, Sumbawa Barat menjadi pusat ekspor kapas mentah, beras, dan produk pertanian lainnya, yang semakin meningkat dalam jumlahnya. Produk-produk ini dikirim ke Makassar dan dalam pertukaran, Sumbawa menerima kain dan gerabah dari India. Di sisi timur, Bima juga aktif dalam perdagangan, terutama dalam ekspor beras yang sangat penting bagi daerah-daerah yang jauh seperti Banda dan Batavia.

Selain itu, Bima juga menyediakan pasokan bagi Sulawesi Selatan, terutama dalam produk maritim. Pulau ini merupakan pusat jaringan perdagangan yang kompleks, yang dijalankan oleh pedagang dari Seram Timur di Maluku. Mereka memperoleh barang-barang seperti budak, kulit, kayu sapan, dan barang berharga lainnya dari timur jauh dan menjualnya di pelabuhan-pelabuhan seperti Sumbawa, Lombok, Bali, dan tempat-tempat lainnya.

Teluk Bima yang luas, membentang sekitar 20 kilometer ke Sumbawa Timur dari utara, menjadi salah satu pelabuhan alami terbaik di dunia. Karena itu, tidak mengherankan jika Kerajaan Bima, yang terkenal sebagai penghasil padi dan sapan, memiliki kepentingan khusus dalam hubungan dengan dunia luar.

Manggarai di Flores Timur dan Sumba, meskipun tidak semua penduduknya menganut agama Islam, setidaknya sebagian besar didominasi oleh pengaruh Bima sejak abad ke-16 atau ke-17. Ini tercermin dalam pernyataan seorang komandan pada tahun 1762 ketika berbicara kepada para pemimpin Manggarai, yang menyatakan bahwa "Bima adalah jiwa, maka Manggarai adalah tubuh, dan jika Bima adalah angin, Manggarai adalah dedaunan pohon". Hal ini menunjukkan pengaruh yang kuat dari Kerajaan Bima di wilayah tersebut.

Pengenalan Islam di Sumbawa Timur bisa jadi terkait dengan kontak dengan Ternate, di mana Islam diperkenalkan pada abad ke-16. Tahun 1545 disebut dalam catatan yang ditemukan dalam Van Braam Morris, tetapi belum ada teks asli yang memuat tanggal tersebut. Berdasarkan silsilah, Sarise tampaknya merupakan paman dari Sultan Abdul Kahir (1620-1640), yang menunjukkan kemungkinan bahwa peristiwa ini terjadi pada periode tersebut.

Menurut sejarahwan lokal L. Massir Q. Abdullah, kunjungan pertama oleh Belanda ke Bima dilakukan oleh Steven van der Haghen pada tahun 1605, selama masa pemerintahan Raja Sarise. Pada saat itu, kapal Belanda menangkap kapal Portugis di lepas pantai Sape. Ketika beberapa orang Portugis yang masih hidup bergabung dengan awak kapal lainnya dan menyerang serta membunuh beberapa orang Belanda di Belo, Raja Sarise turun tangan untuk membantu Belanda. Dia berhasil membunuh atau mengusir Portugis dan kemudian membuat perjanjian dengan Kompeni di Cenggu.

Peristiwa serupa terjadi pada tahun 1618-1619, menurut catatan dari sumber VOC. Pada periode ini, Kompeni yang ingin membeli beras di Bima, menempatkan beberapa orang di sana. Mereka berhasil menangkap fregat Portugis tetapi kemudian sebagian besar dari mereka dibunuh oleh awak fregat tersebut. Jika kedua peristiwa ini sama, maka masa pemerintahan Sarise dapat diperkirakan berlangsung hingga sekitar tahun 1619. Beberapa daftar silsilah menyebutkan adanya empat penguasa antara Sarise dan penguasa Muslim pertama, Abdul Kahir (1620-1640), menunjukkan periode transisi dari pemerintahan Hindu-Buddha ke Islam di wilayah tersebut.

Kesultanan rempah-rempah Ternate dan Tidore secara resmi memeluk agama Islam pada kunjungan orang Eropa pertama ke Maluku pada tahun 1512. Meskipun begitu, proses Islamisasi di wilayah tersebut berlangsung selama beberapa waktu sebelumnya, dengan berbagai catatan Eropa yang menunjukkan bahwa penduduk lokal Ternate dan elitnya secara bertahap beralih agama antara tahun 1435 hingga 1470. Namun, perlu diingat bahwa Islamisasi merupakan proses yang memakan waktu lama.

Penguasa Muslim pertama di Ternate, Zainal Abidin, dilaporkan mengunjungi Jawa pada akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16, di mana ia bertemu dengan Kepala Suku Jamilu dari Hitu (Ambon). Setelah pertemuan ini, Jamilu kembali ke Hitu. Dalam perjalanannya pulang, ia singgah di Bima dan menjalin hubungan baik dengan raja di sana, yang putrinya kemudian dinikahinya. Meskipun Jamilu adalah seorang Muslim, tidak ada indikasi bahwa raja Bima saat itu juga memeluk Islam.

Selama perjalanan pulang, Sultan Zainal Abidin mengajak seorang mubaligh di Jawa untuk mengikutinya kembali ke Maluku. Namun, ketika pasukan Ternate mendarat di Bima, mereka menghadapi masalah dengan raja setempat. Terjadi perkelahian di mana Zainal Abidin terluka parah oleh seorang bangsawan Bima yang menyerangnya dengan tombak. Meskipun demikian, ada perbedaan dalam laporan mengenai nasib Zainal Abidin setelah luka tersebut. Menurut Hikayat Tanah Hitu, Zainal Abidin meninggal karena luka tersebut, sementara penulis abad ke-18 François Valentijn menyatakan bahwa ia selamat.

Pada masa Sultan Babullah (1570-1584), Kesultanan Ternate mengalami luasnya kekuasaan dengan berhasil mematahkan kekuasaan Portugis di wilayah kekuasaannya pada tahun 1575. Sultan Babullah berhasil mengukuhkan klaim atas pulau-pulau di perairan dekat Pulau Sumbawa, yang mencakup setidaknya sebagian dari Pulau Sumbawa itu sendiri. Puncak kekuasaan Ternate terjadi saat Sultan Babullah memiliki kendali atas sekitar 70 pulau di wilayah kekuasaannya.

Pada masa Sultan Babullah, ada upaya yang dilakukan untuk memperluas pengaruh Islam, termasuk di wilayah Buton. Babullah diketahui telah melakukan upaya islamisasi di Buton pada sekitar tahun 1580-an. Di samping itu, terdapat catatan mengenai kerajaan Sanggar yang beberapa pendapat menyatakan bahwa kerajaan tersebut sudah memeluk agama Islam lebih awal. Pada tahun 1618, Kerajaan Sanggar bahkan menerima ajakan dari Mandalle' untuk menahan ekspansi Katolik yang dilakukan oleh orang-orang Portugis. Pendapat ini diperkuat oleh adanya jenis nisan di desa Boro yang berasal dari abad ke-15 hingga ke-16, menunjukkan jejak Islam yang kuat di wilayah tersebut. Perselisihan antara Gowa dan Ternate terkait wilayah Buton merupakan salah satu konflik yang berlangsung selama bertahun-tahun. Pada tahun 1666, Speelman berhasil menghadapi pasukan Gowa dan memenangkan pertempuran, sehingga pada tahun 1667, Gowa harus menyerahkan klaimnya atas Buton.

Catatan harian Gowa juga mencatat tentang penaklukan Sumbawa oleh Sultan Alauddin dari Gowa pada April 1618. Pada ekspedisi pertama ini, pemimpin Mandalle' menyeberang ke Bima dengan sembilan kapal, mungkin untuk mengantisipasi dakwah Katolik pada saat itu. Mereka berhasil mengalahkan Bima dan melarikan diri ke hutan. Orang-orang Bima setuju untuk menerima guru-guru Muslim. Namun, raja lama, Salisi, menolak untuk menyerah dan digantikan oleh keponakannya, Mantau Bata Wadu, yang kemudian menjadi Sultan Abdul Kahir. Ekspedisi kedua yang terjadi pada tahun 1619, Karaeng Maroanging kembali menyerang pulau itu, mengalahkan Bima dan Sumbawa Barat. Menurut Speelman, pada saat itu Dompu, Tambora, dan Sanggar juga sudah berada di bawah kekuasaan Makassar. Ekspedisi ketiga terjadi pada tahun 1626, yang menunjukkan intensitas konflik dan upaya penguasa Makassar untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya di wilayah tersebut.

Sanggar merupakan kecamatan yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang saat ini menjadi bagian wilayah administratif Kabupaten Bima. Nama "Sanggar" juga digunakan untuk merujuk pada sebuah kerajaan, yaitu Kerajaan Sanggar. Sebelum tahun 1815, pusat pemerintahan Kerajaan Sanggar terletak di Boro. Namun, setelah tahun 1815, kerajaan ini mengalami masa transisi dalam penentuan pusat pemerintahannya. Transisi ini mencakup periode di Nggembe pada tahun 1816, Kampasi (Lanci) dari tahun 1847 hingga 1862, dan terakhir di Kore pada tahun 1863. Meskipun keberadaan nama "Sanggar" sebagai nama kerajaan telah dicatat dalam beberapa kontrak dan kronik kerajaan sekitarnya sejak tahun 1543, ketika kata "Sanggar" pertama kali muncul saat kedatangan Sunan Perapen untuk mengislamkan Lombok, namun tidak ada informasi pasti mengenai sejak kapan nama tersebut digunakan.

Tahun 1519, Antonio Pigafetta, seorang pelaut yang berasal dari Italia, bergabung dalam ekspedisi bersama Kapten Magellan dari Portugal dan kembali ke Portugal pada tahun 1522. Pigafetta melakukan ekspedisi ke berbagai wilayah timur, termasuk ende, tanahbutun (buton), Chile (Kilo), Bima (Byma), Kore (Cory), Tambora (Aranaran), Sumbawa (Zumbaua), dan lainnya. Pelaut Portugal menyebut Kore sebagai salah satu tempat yang berada di semenanjung Sumbawa pada abad ke-15, yaitu pada tahun 1517 dan 1522. Pada tahun 1582, pelabuhan Kore digunakan sebagai tempat untuk memperoleh beras, ikan, kayu sappan, serta sebagai tempat perdagangan budak. Pada tahun 1603, berdasarkan Catatan Speelman Notitie, terdapat tiga pelabuhan utama pada masa itu, yaitu Pelabuhan Bima, Kore (Cory), dan Ende.

Tahun 1603, salah satu komoditas yang diperdagangkan adalah kain, yang dikenal sebagai "kain Cory" (Kain Kore). Pada tahun yang sama, selain kain, komoditas lain yang cukup terkenal adalah kuda. Ada tiga jenis kuda yang terkenal, yaitu kuda Bima, kuda Ende, dan kuda Kore. Kuda Kore dikenal dengan sebutan "Jaranan Kore" di Jawa. Dalam bahasa Kore Lama, kuda diartikan sebagai "Jaran" (B. Bima: Jara, B. Makassar: Jarang). Informasi mengenai "jaranan kore" dapat ditemukan dalam beberapa sumber sejarah, seperti Babad Lombok, Ranggalawe, Tanah Jawi, dan Serat Kraton Yogyakarta dan lainnya.

Tahun 1655 menjadi saksi keterlibatan kerajaan Bima, Dompu, Sanggar, dan Tambora dalam perang melawan VOC di Buton. Dalam konflik tersebut, mereka bersekutu dengan kerajaan Buton melawan kekuasaan VOC.

Tahun 1660, Kerajaan Bima melakukan aksi perampokan terhadap kapal milik Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Selang tiga tahun kemudian, pada tahun 1663, Kerajaan Gowa memperluas kekuasaannya dari Bima, Dompu, Sanggar, hingga Tambora. 

Tahun 1669, kerajaan Bima dan Dompu menandatangani perjanjian di Benteng Rotterdam, menandai awal dari keterikatan Kerajaan Dompu sebagai sekutu setia VOC. 

Tanggal 12 Agustus 1674, Raja Buton, yang juga memegang gelar pangula, serta pengelola negeri Sanggar yang bernama Bumi Towa dan Bumi Wola, dipaksa untuk menandatangani kontrak. Hal ini menandai masuknya VOC dalam pengaruh politik di wilayah tersebut.

Pada tahun berikutnya, Tambora yang dipimpin oleh Kalongkong melakukan aksi perampokan terhadap kapal VOC. Sementara itu, wilayah Sumbawa mengalami gejolak yang signifikan pada periode tersebut.

Tahun 1677, setelah perjanjian Bungaya, wilayah Pulau Sumbawa dianggap sebagai sekutu VOC, dan keempat raja di wilayah tersebut diasingkan ke Maluku sebagai bagian dari hukuman.

Tanggal 14 April 1701, raja-raja dari Bima, Dompu, Sanggar, dan Tambora kembali menandatangani kontrak dengan VOC. Perwakilan dari Sanggar pada saat itu adalah Kalongkong Hassanudin. Perjanjian tersebut menandai keterikatan yang lebih erat antara kerajaan-kerajaan tersebut dengan VOC, serta kepatuhan mereka terhadap kebijakan VOC dalam perdagangan dan politik di wilayah tersebut.

Tanggal 18 April 1701, sebuah kontrak antara Gouvenour en Directeur van Wegen den Staat der Generale VOC (Gubernur dan Direktur Jalan Negara dari Negara-Negara Bersatu Belanda) ditandatangani dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Belanda, Bugis, dan Arab Melayu, di Semenanjung Sumbawa. Kontrak tersebut melibatkan beberapa pihak, antara lain:

1. Raja Sumbawa.

2. Bumi Sorowo, yang juga dikenal sebagai Abdul Rasul, yang merupakan Raja Dompu.

3. Damala, atau Daeng Manangun, yang merupakan pemimpin kerajaan Tambora.

4. Raja Sanggar, yang dikenal dengan nama Affan Nurdin alias Abdul Sulaiman atau Kalongkong Hassanuddin. Raja Sanggar juga memiliki kewenangan atas Negeri Pekat. Kontrak ini mencakup perjanjian perdamaian antara kerajaan-kerajaan di wilayah Sumbawa. Isi kontrak tersebut antara lain memuat kesepakatan agar kerajaan Dompo (Dompu), Tambora, Sanggar, dan Pekat tidak terlibat dalam konflik bersenjata, dan VOC akan mengawasi pelaksanaan perdamaian tersebut dengan membangun pos-pos di wilayah kerajaan-kerajaan tersebut. Selain itu, VOC juga diberikan hak untuk melakukan perdagangan dan memanfaatkan hasil bumi milik kerajaan-kerajaan tersebut.

Pada tahun 1704, Raja Sanggar Kalongkong Hassanudin dibunuh oleh VOC, dan Daeng Pamali kemudian dinobatkan sebagai Raja Sanggar.


Kerajaan Sanggar merupakan sebuah kerajaan yang terletak di sepanjang pesisir semenanjung Sanggar. Wilayah Sanggar ini dikenal sebagai pendukung atau penghasil komoditas bagi wilayah Bima yang berdekatan. Dalam sejarahnya, Kerajaan Sanggar telah memiliki beberapa pelabuhan yang aktif dari masa ke masa, antara lain:

1. Tabero / Taboro (Pelabuhan Boro).

2. Belambu / Balambo (Pelabuhan Kore).

3. Biu (Pelabuhan Piong).

3. Puntimoro (Pelabuhan Kore).

Pada abad ke-16, penamaan Sanggar pertama kali dicatat dalam kronik kerajaan Gowa, Bima, dan dalam catatan Kontrak Belanda. Kronik Gowa mencatat penamaan Sanggar saat kedatangan kerajaan tersebut di semenanjung Sumbawa pada tahun 1618 sampai 1619. Pada tahun 1666, wilayah tersebut disebut sebagai Kore off Sanggar. Nama "Kore" pada masa itu merujuk pada keseluruhan wilayah yang sekarang merupakan bagian dari Sanggar. Namun, saat ini, nama "Kore" digunakan sebagai nama salah satu desa di kecamatan Sanggar.

Penulisan dan penyebutan kata "Sanggar" memiliki variasi yang beragam, seperti Sangar, Sanger, Sangera, Sang’ar, Sanggera, dan Sanggara. Pengertian dari kata "Sanggar" dalam beberapa bahasa memiliki makna yang serupa, yaitu tempat untuk menyembah atau tempat ibadah.

Kata "Kore" memiliki makna sebagai pintu atau gerbang. Nama "Kore" yang diberikan kepada wilayah Sanggar diambil dari nama tumbuhan kore (Calotropis gigantea). Penamaan ini, yang merujuk pada tumbuhan, dicatat pada abad ke-18. Bentuk penulisan kata "Kore" bervariasi, antara lain Kore, Kare, Korre, Korreh, Corree, Correh, Cory, dan Coory. Penyebutan "Kore" tercatat dalam berbagai naskah, seperti dalam naskah Jawa, Sunda, Ternate, Bali, Lombok, dan lainnya.

Babad atau kidung Ranggalawe dan Babad Sunda, disebutkan dua tempat untuk memperoleh kuda, yaitu Bima dan Kore. Sekitar tahun 1292, Ranggalawe dikirim oleh ayahnya untuk membantu Raden Wijaya membuka hutan tarik. Raden Wijaya menanyakan soal pembelian kuda perang di Madura, namun disarankan untuk membeli kuda dari Bima Kore. Nama "Ranggalawe" diberikan oleh Raden Wijaya karena terkait dengan penyediaan kuda perang tersebut. Ekspedisi Majapahit untuk wilayah timur yang dipimpin oleh Mpu Nala pada tahun 1357 tidak mencatat nama "Kore" sebagai wilayah yang ditaklukkan oleh Majapahit dalam naskah Paraton dan Negarakertagama.

Kerajaan Sanggar merupakan kerajaan yang berlokasi atau berpusat di Desa Boro (sekarang). Kerajaan ini didirikan sekitar abad ke-14 bersamaan dengan kerajaan Aga dan Cempaka (jempaka). Sumber ini didasarkan pada catatan A. Razak Azis, meskipun masih dianggap sebagai hipotesa terkait berdirinya sejak abad ke-14. Namun, berdasarkan keterangan dari Balar Arkeologi Bali, terdapat makam sebelum letusan Gunung Tambora pada tahun 1815 dan setelah letusan di Desa Boro. Kata "Boro" dalam bahasa Kore Lama diartikan sebagai ramai atau keramaian, begitu juga dengan Pali (sekarang menjadi Desa Sandue), yang dalam bahasa Kore Lama diartikan sebagai kembali, pada masa tersebut, keseluruhan wilayah dikenal dengan sebutan "Kore". Sebelum letusan Gunung Tambora, bajak laut atau yang dikenal sebagai "pabelo" mulai masuk ke semenanjung Sumbawa pada tahun 1810. Pada tahun 1815, masyarakat Sanggar mengungsi ke Banggo dan Nggembe. Kemudian, pada tahun 1844, masyarakat Sanggar kembali ke wilayah Sanggar. Pada tahun 1901, pembangunan benteng di wilayah tersebut dihentikan. Pada tahun 1954 sampai 1955, Desa Boro dipindahkan kembali ke tempat asalnya setelah sebelumnya bermukim di dekat perbatasan Kore-Boro (lokasi sekarang SMKN 1 Sanggar). Selama dipindahkan, benteng setinggi sekitar 3 meter dihancurkan pada tahun 1955. Pada tahun 1973, masyarakat Boro dipindahkan kembali ke Desa Boro yang sekarang.

Bahasa Bima, kata "Taloko" memiliki arti "dalam (di) perut". Namun, arti tersebut bisa saja mengandung makna lain, karena dalam bahasa Kore Lama, "perut" diartikan sebagai "lembo". Wilayah Taloko dulunya merupakan bagian dari lanskap Kerajaan Sanggar yang masuk dalam ruang lingkup administrasi Kerajaan. Namun, wilayah tersebut selalu menjadi aneksasi oleh Kesultanan Bima dan Dompu. Menurut buku "Kesultanan Bima", perang antara Kerajaan Sanggar dan Bima terjadi pada tahun 1673 di Taloko. Akibat peperangan ini, masyarakat Sanggar tunduk kepada Kesultanan Bima. Konflik ini dipicu oleh persoalan antara Kerajaan Gowa dan Semenanjung Kerajaan Bima.

Tahun 1836, Raja Sanggar yang bernama Lalira Daeng Jai meninggal dunia dan digantikan oleh Daeng Malabba sebagai pemimpin kerajaan Sanggar. Perubahan kepemimpinan ini mengisyaratkan pergeseran dalam struktur kekuasaan di wilayah tersebut, yang dapat memengaruhi dinamika politik dan sosial di masa mendatang.

Sepeninggalnya Raja Sanggar Lalira Daeng Jai dan posisinya digantikan oleh Daeng Malabba sedangkan pada tanggal 12 Mei 1845, Raja Sanggar Daeng Malabba meninggal dunia. Setelah kematian Daeng Malabba, yang diangkat menjadi raja Sanggar adalah Kari Daeng Leo pada tanggal 14 April 1846, yang ditandai oleh tanggal kontrak. Kepemimpinan saat itu masih memunculkan beberapa pertanyaan. Karena terdapat beberapa kemungkinan, seperti dualisme kepemimpinan, kematian, penggantian, atau apakah Kari Daeng Leo sendiri yang menunjuk jargon Manga untuk naik tahta. Situasi kepemimpinan yang terjadi pada masa itu perlu ditelusuri lebih lanjut, karena ada catatan mengenai dua kontrak dengan tahun yang sama namun berasal dari lokasi yang berbeda yaitu di Nggembe dan Sanggar.

Tahun 1848, delegasi kedua dari Nggembe kembali ke Kore. Pada tahun sebelumnya, yaitu 1844, beberapa orang dari masyarakat Sanggar dan Tambora yang selamat dari bencana letusan Tambora pada tahun 1815 melarikan diri ke Manggarai. Namun, kapal yang mereka tumpangi kemudian dirampok, menghadirkan tantangan dan kesulitan baru bagi mereka yang mencoba untuk menjauh dari wilayah yang terkena dampak bencana.

Tanggal 14 Agustus 1858, terjadi Perjanjian Kontrak antara Kerajaan Sanggar dan VOC yang berkaitan dengan komoditas seperti kopi, beras, dan lainnya. Perjanjian ini mencerminkan hubungan dagang yang dibangun antara Kerajaan Sanggar dan VOC, yang merupakan perusahaan dagang Belanda pada masa itu.

Pada tahun 1862, klaim kerajaan Dompu atas wilayah Taloko diselesaikan melalui konflik bersenjata dengan kerajaan Sanggar. Peperangan tersebut diakhiri dengan kemenangan pihak Kerajaan Sanggar. Setelah itu, pertentangan terus berlanjut dari Mada Oi Kampassi hingga di batasi oleh sungai, yang kemudian digeser hingga mencapai perbatasan Taloko yang sekarang, yaitu di sekitar jembatan, dan kemudian berlanjut hingga ke Gunung Labumbu.

Kemudian, pada tanggal 2 September 1866, Kerajaan Sanggar dan Kesultanan Dompu menandatangani kontrak yang berkaitan dengan wilayah Tambora dan Papekat. Melalui kontrak tersebut, wilayah Tambora ditetapkan sebagai bagian dari wilayah Kerajaan Sanggar, sementara Papekat menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Dompu. Penandatanganan kontrak ini menunjukkan adanya kesepakatan yang sah antara kedua pihak terkait batas wilayah dan administrasi di wilayah yang bersangkutan, Pada saat penandatanganan kontrak tersebut, Kerajaan Sanggar masih dipimpin oleh Raja Manga Daeng Manassa, yang menjabat dari tahun 1845 hingga 1869. Kepemimpinan yang berlangsung selama periode tersebut memberikan kestabilan dalam urusan kerajaan dan merupakan konteks utama bagi terciptanya perjanjian-perjanjian tersebut.

Tahun 1869 merupakan momen yang menggambarkan keadaan Kerajaan Sanggar pada masa tersebut. Kerajaan ini, pada waktu itu, terdiri dari hanya dua kampung, yaitu Balambo dan Taloko, dengan total penduduk sekitar 200 jiwa. Mata pencaharian penduduk Sanggar pada masa itu terbatas pada perdagangan kuda, kacang hijau, lilin, madu, berburu rusa, dan memancing.

Meskipun merupakan kerajaan, kampong Balambo dan Taloko terlihat sangat miskin. Bahkan, anggota keluarga kerajaan pun tidak luput dari kondisi kemiskinan yang melanda. Raja pada saat itu baru saja meninggalkan kerajaan menuju Bima, sehingga warga baru akan melihatnya setelah kembali ke Bima.

Dalam konteks kekayaan kerajaan, Sanggar tampak tertinggal dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan besar lainnya. Boemi Taropo Towang, seorang mantri terkemuka pada masa itu, menjadi saksi akan kemunduran Sanggar, dan dia mengajak warga belanda untuk menjelajahi keindahan kampung tersebut.

Struktur pemerintahan Kerajaan Sanggar pada masa itu terdiri dari beberapa bagian, di antaranya:

1. Pangeran muda La Kamena Daeng Anjong, yang merupakan saudara tiri dari penguasa sebelumnya, Manga Daeng Manassa, yang diberhentikan karena sakit jiwa.

2. Daeng La Melong.

3. Boemi Kadong.

4. Boemi Tróepoe Rasanaë.

5. Boemi Tróepoe Towang.

6. Sabandar.

7. Boemi Gnojo.

8. Imam (Lebe).

9. Boemi Sari Taloko.

10. Boemi Sari Towang.

Dua yang terakhir disebut sebagai gelarrang dalam struktur pemerintahan.

Melalui gambaran struktur pemerintahan tersebut, tampak bahwa Kerajaan Sanggar pada tahun 1869 memiliki organisasi pemerintahan yang terstruktur, meskipun dalam situasi ekonomi dan sosial yang sederhana. Meskipun demikian, kerajaan ini mencerminkan kehidupan masyarakat pada periode tersebut dengan segala kompleksitasnya.

Pada tanggal 26 Juli 1869, saat pengukuhan Raja Sanggar yang bernama Samsudin La Kamea Daeng Anjong, dilakukan penandatanganan kontrak yang mengikat antara Kerajaan Sanggar dengan Hindia Belanda. Kontrak ini merupakan perpanjangan dari kontrak sebelumnya yang telah ditandatangani pada tanggal 9 Februari 1765 oleh raja sebelumnya, yaitu Muhammad Jahotang Johan Syah. Isi kontrak tersebut mencakup beberapa poin penting, antara lain:

1. Berjanji untuk menunjukkan kepatuhan beserta rasa hormat kepada Hindia Belanda sebagai penguasa kolonial pada saat itu.

2. Mematuhi kontrak perjanjian yang telah disepakati sebelumnya pada tanggal 14 Agustus 1858.

3. Memajukan kesejahteraan rakyat, dengan upaya untuk meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.

4. Memerintah dengan adil dan mengedepankan prinsip keadilan dalam segala keputusan dan tindakan.

5. Menjaga hubungan damai dengan tetangga, baik kerajaan sekitarnya maupun pihak-pihak lain yang terlibat dalam wilayah kekuasaannya, termasuk kemungkinan kerjasama dengan VOC.

6. Berkomitmen untuk mencegah pembajakan dan menghentikan perdagangan budak, sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi.

7. Melindungi sektor pertanian sebagai salah satu aspek penting dalam perekonomian kerajaan.

8. Mempromosikan industri lokal untuk meningkatkan produksi dan ekonomi lokal.

9. Berkontribusi pada perkembangan perdagangan, dengan memberikan dukungan dan fasilitas bagi aktivitas perdagangan yang berkembang di wilayah tersebut.

10. Mendukung pengiriman dan menjamin keamanan serta keberlangsungan jalur perdagangan.

11. Memberikan bantuan kepada kapal yang karam dan menyelamatkan barang-barang yang terdampar, serta tidak mengganggu tindakan yang dilakukan oleh pihak Belanda terkait hal tersebut.

12. Menghindari keterlibatan dalam hubungan politik dengan kekuatan asing yang dapat mengganggu kedaulatan dan stabilitas kerajaan.

13. Berjanji untuk menjatuhkan hukuman yang adil terhadap pelanggaran berdasarkan ketetapan yang telah ditetapkan, tanpa memandang suku bangsa atau agama pelanggar.

14. Tidak menyerahkan tanah atau hak apapun kepada bangsa Eropa, termasuk Portugis, atau pihak asing dari Timur maupun Barat, untuk menjaga kedaulatan wilayah.

15. Menegaskan komitmen untuk mempertahankan wilayah dan kebudayaan lokal dari pengaruh asing serta menjaga kemerdekaan dan otonomi kerajaan.

Pada tanggal 26 Juli 1869, Samsudin La Kamena Daeng Anjong diangkat menjadi Raja Sanggar dalam sebuah upacara pengukuhan yang diselenggarakan di Kesultanan Bima. Upacara pengukuhan tersebut dihadiri oleh beberapa tokoh penting, antara lain:

1. La Kamena Daeng Anjong, yang diangkat sebagai Pangeran Sanggar, atau pangeran kerajaan Sanggar yang kemudian dinobatkan sebagai raja.

2. Manggili Daeng Matuppu, yang menjabat sebagai Raja Bicara atau Ruma Bicara, yang memiliki peran penting dalam urusan pemerintahan dan komunikasi di kerajaan.

3. La Mori, yang diangkat sebagai Bumi Luma, yang bertanggung jawab atas urusan administratif dan pertanahan.

4. Muhammad Daeng Malulu, yang menjabat sebagai Syahbandar, yang memiliki tanggung jawab terhadap aktivitas perdagangan dan pelabuhan kerajaan.

Kemudian, pada tanggal 22 Desember 1900, Raja Sanggar Samsudin La Kamena Daeng Anjong meninggal dunia pada usia 83 tahun. Dengan meninggalnya Raja Sanggar tersebut, tahta kerajaan akan digantikan oleh anaknya, yaitu Raja Abdullah yang akan melanjutkan pemerintahan dan kepemimpinan kerajaan.

Kontrak antara Dewan Nederlandsch-Indisch Gouvernement dan Kerajaan Sanggar, yang ditandatangani pada tanggal 16 Juli 1901, merupakan sebuah perjanjian yang mengatur hubungan antara kedua pihak. Berikut adalah isi kontrak tersebut:

Pasal Satu:

Pada pasal ini, gubernur sekarang dan wilayah Sanggar mengakui bahwa perjanjian tersebut berlaku di wilayah Hindia Timur Belanda. Mereka juga menegaskan bahwa Yang Mulia, Ratu Belanda, diwakili oleh Gouverneur-Generaal van Neberlandsch-India, adalah komandan yang sah. Mereka berjanji untuk mengakui kekuasaan Belanda di Hindia Timur dan bersedia tunduk pada otoritas dan perintahannya.

Pasal Dua:

Kontrak tersebut menetapkan batas wilayah Sanggar di sebelah barat, selatan, dan timur oleh Kontrak Dompu serta batas laut. Sanggar dan penduduknya berkomitmen untuk mengakui keputusan Gubernur India Belanda dalam semua sengketa perbatasan dengan negara tetangga.

Pasal Tiga:

Raja Sanggar dan penduduknya berjanji untuk tidak terlibat dalam hubungan atau kesepakatan dengan negara lain tanpa izin dari pemerintah Belanda. Mereka tidak akan menerima atau mengirim hadiah, misionaris, atau melakukan kesepakatan apapun dengan kekuatan lain, baik dari Timur maupun Barat, tanpa persetujuan dari pemerintah Belanda.

Pasal Empat:

Jika terjadi kematian pemimpin, negara akan diatur oleh anggota senior yang ditunjuk oleh menteri yang bertanggung jawab atas Bima kepada Gubernur Sulawesi. Pemerintahan sementara akan dipimpin oleh kepala wilayah untuk memastikan kelancaran pemerintahan hingga pengganti pemimpin dapat dikonfirmasi.

Kontrak ini memperkuat hubungan antara Kerajaan Sanggar dan Belanda, serta menetapkan kerangka kerja yang jelas dalam hal perbatasan, kepatuhan, dan pemerintahan dalam wilayah tersebut.

Pada tahun 1892, keluhan terkait klaim Kesultanan Dompu atas wilayah Sanggar yang digabungkan dengan Tambora diajukan kepada Belanda. Kesultanan Dompu menginginkan agar batasan wilayah Tambora dimasukkan ke dalam wilayah Dompu. Namun, permintaan ini ditolak oleh pihak Belanda.

Pada tanggal 16 Juli 1901, Raja Abdullah naik tahta menjadi Raja Sanggar, menggantikan Raja sebelumnya, Samsudin La Kamea Daeng Anjong. Kenaikan tahta ini disertai dengan kelanjutan penandatanganan kontrak antara Kerajaan Sanggar dan Dewan Nederlandsch-Indisch Gouvernement. Kontrak pertama tersebut ditandatangani di pelabuhan Kore Puntimoro. Salah satu poin penting dari kontrak tersebut adalah penundaan pembangunan benteng di Boro (kini desa Boro), karena pembangunan tersebut tidak mendapatkan pemberitahuan sebelumnya kepada pihak Belanda.

Selain kontrak pada tahun 1901, Raja Abdullah juga menandatangani kontrak pada tahun 1905 dan 1907, serta kemungkinan kontrak-kontrak berikutnya dalam periode selanjutnya. Kontrak-kontrak tersebut mungkin mengatur berbagai hal terkait dengan hubungan antara Kerajaan Sanggar dan pemerintah Belanda, seperti batasan wilayah, perdagangan, keamanan, dan kesejahteraan rakyat. Penandatanganan kontrak-kontrak tersebut menunjukkan komitmen Raja Abdullah dan Kerajaan Sanggar untuk mematuhi perjanjian dengan pihak Belanda serta menjaga hubungan yang baik dengan kekuasaan kolonial tersebut.

Perjanjian Tambahan ini menetapkan beberapa kesepakatan antara Pengendali yang ditugaskan oleh Gubernur Sulawesi dan Dependensinya, yang bertindak atas nama Pemerintah Hindia Belanda, dan Abdullah, yang merupakan penguasa wilayah Sanggar beserta para penguasanya.

Kontrak Kerajaan Sanggar, 30 Desember 1905 merupakan dokumen sejarah yang menarik karena memberikan gambaran tentang hubungan politik antara lanskap Sanggar dengan Pemerintah Hindia Belanda.

Dokumen tersebut mencakup berbagai ketentuan yang mengatur berbagai aspek kehidupan politik, ekonomi, dan sosial di wilayah Sanggar. Di antara isinya adalah pengakuan atas kedaulatan Belanda atas wilayah tersebut, kewajiban pengelola dan mantri terhadap pemerintah kolonial, pembatasan terhadap hubungan internasional Sanggar dengan negara lain, serta aturan terkait dengan perbatasan wilayah, pelayanan publik, dan lain-lain.

Selain itu, dokumen tersebut juga menunjukkan bahwa monopoli tertentu atas kayu kuning dan lilin lebah diberikan kepada Raja, serta adanya tenaga kerja yang diminta untuk tugas tertentu, seperti mengolah sawah dan melaksanakan tugas jaga di raja yang ditunjuk.

Secara keseluruhan, kontrak tersebut mencerminkan dinamika kekuasaan dan pengaturan politik yang ada pada waktu itu antara pemerintah kolonial Belanda dan wilayah-wilayah di bawah kekuasaannya.

KONTRAK diakhiri dengan persetujuan lebih lanjut dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda antara Henry de Vogel Mathieu Henrizoon, Pengendali yang ditugaskan oleh Gubernur Sulawesi dan Dependensi untuk kontak politik dengan Pemerintahan Sendiri dalam hal ini, bertindak untuk dan atas atas nama Pemerintah Hindia Belanda, dan Abdullah, penguasa bentang alam Sanggar beserta para cucunya (anggota hadat).

Karena nampaknya ada keinginan untuk menjadikan hak dan kewajiban bersama antara Pemerintah Belanda dan pengelola lanskap Sanggar lebih sesuai dengan persyaratan saat ini dibandingkan dengan perjanjian yang ada, maka saat ini terjadi bahwa pada tanggal 30 Desember 1905, dengan persetujuan lebih lanjut dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda, antara kami Henry de Vogel Mathieu Henrizoon, Pengendali yang ditugaskan oleh Gubernur Sulawesi dan Dependensi untuk kontak politik dengan Pemerintahan Sendiri, bertindak untuk dan atas nama Pemerintah Hindia Belanda, dan Abdullah, direktur lanskap Sanggar, menyetujui hal berikut:

Pasal satu.

pengelola dan mantris Sanggar Sanggar menyatakan bahwa lanskap ini adalah milik wilayah Hindia Belanda dan oleh karena itu mereka mengakui Yang Mulia Ratu Belanda yang diwakili oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda sebagai Penguasa tertinggi yang sah. Komandan.

Oleh karena itu mereka menjanjikan kesetiaan, ketaatan dan ketundukan kepada Pemerintah Hindia Belanda dan wakil-wakilnya.

Pasal dua.

Wilayah bentang alam Sanggar dibatasi di sebelah Barat, Selatan, dan Timur oleh bentang alam Dompo, sebaliknya oleh laut, dan dipahami terdiri dari negara-negara dan pulau-pulau yang diuraikan lebih lanjut dalam pernyataan huruf A yang dilampirkan pada kontrak ini. .

pengelola dan mantri menyatakan bahwa mereka akan tunduk tanpa syarat pada keputusan Pemerintah dalam semua kasus sengketa perbatasan dengan bentang alam yang berdekatan.

Pasal tiga.

Bentang alam Sanggar diserahkan sebagai wilayah kekuasaan kepada Abdullah, Raja Sanggar, dengan syarat kepatuhan yang ketat dan setia terhadap kewajiban yang dijelaskan dalam kontrak ini.

Pesal ini menyatakan bahwa dia menerima perjanjian ini dengan beberapa syarat.

Pasal empat.

tidak menyerahkan negara Sanggar maupun mantri-mantrinya kepada negara lain selain Belanda, tidak juga mengadakan aliansi atau perjanjian atau pertukaran surat dengan Negara lain, maupun dengan subyeknya sendiri dari Negara tersebut tidak menerima atau mengirim hadiah atau misionaris dari atau mengirim kepada suatu Negara atau subjek tersebut, atau mengizinkan hal tersebut dilakukan oleh atau atas nama anak-anak mereka atau kerabat lainnya atau oleh atau atas nama rakyat mereka.

Pasal lima.

Pemerintah Hindia Belanda berhak memberhentikan Direktur Lanskap Sanggar jika ada alasan untuk itu dan menunjuk penggantinya setelah berkonsultasi dengan Nantris.

Para grandees (mantri) diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur Sulawesi dan Dependensi dengan berkonsultasi dengan pengurus dan mantris.

Dalam hal Direktur meninggal dunia, para penguasa akan segera memberitahukan kepada Gubernur Sulawesi dan Dependensi dan pemerintahan negara untuk sementara akan dipimpin oleh satu atau lebih penguasa yang ditunjuk oleh Gubernur Sulawesi dan Dependensi, sambil menunggu kematiannya. gubernur, Pemerintah akan menunjuk penggantinya.

Pasal enam.

Pengurus dan mantri akan patuh dan taat kepada Gubernur dan sebagai wakil Pemerintah akan berkonsultasi dengannya sendiri atau dengan pejabat yang berada di bawahnya mengenai segala hal yang berkaitan dengan kepentingan bersama.

Pasal tujuh.

Gubernur Sulawesi dan Dependensi serta pejabat administrasi lokal yang terlibat mempunyai hak untuk menghadiri semua pertemuan pemerintah pusat yang membahas kasus-kasus hukum atau urusan administratif penting.

Pasal delapan.

Pengurus dan mantri berjanji menjaga perdamaian dan persahabatan dengan pengurus negara tetangga atau negara lain yang tergabung dalam wilayah Hindia Belanda, dan oleh karena itu tidak akan mengambil tindakan apa pun terhadap pengurus tersebut tanpa sepengetahuan dan izin terlebih dahulu dari Gubernur Belanda. Hindia Belanda melakukan permusuhan, tidak menyediakan peralatan atau persiapan untuk tujuan ini, atau mendirikan benteng di wilayah tersebut.

Mereka tidak akan ikut campur dalam urusan penduduk asli negaranya, yang diizinkan untuk menetap di luar negaranya dan tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain.

Benteng yang mungkin ada atau didirikan di dalam lanskap dengan sepengetahuan Pemerintah sebelumnya akan dibongkar atas pemberitahuan pertama dari Pemerintah tersebut.

Pasal sembilan.

Penguasa dan mantri lanskap Sanggar serta rakyatnya akan mengibarkan bendera Belanda baik di darat maupun di laut dan tidak akan memperbolehkan pengibaran bendera lain selain bendera ini atau tambahannya.

Namun, Pengelola (kerajaan) diperbolehkan untuk secara pribadi mengibarkan bendera standar atau bendera pengakuannya secara bersamaan, namun di bawah, bendera Belanda.

Pasal sepuluh.

Pemerintah mempunyai hak untuk menunjuk satu atau lebih pejabat Eropa atau Pribumi dan personel lain yang diperlukan untuk mengelola lanskap kapan saja, jika dianggap berguna atau perlu.

Pasal sebelas.

Jika nanti Pemerintah berkeinginan untuk menempati suatu tempat di lanskap tersebut, mendirikan benteng atau mendirikan bangunan, maka Pengelola dan Mantri tidak hanya akan mengizinkan hal ini, namun juga akan melakukan hal tersebut dengan imbalan pembayaran dan kompensasi yang adil. atas hilangnya pendapatan yang diakibatkannya, sedangkan untuk setiap pendudukan, benteng atau pembangunan, mereka akan menyediakan tanah secara cuma-cuma kepada Pemerintah sebanyak yang diperlukan, di tempat tersebut sesuai kebijaksanaan Pemerintah. kepada pemegang hak.

Pasal dua belas.

Gubernur dan mantri akan memerintah dengan adil, memajukan kesejahteraan rakyat dan mengikuti semua nasihat yang diberikan oleh wakil-wakil Pemerintah dalam hal ini.

Mereka tidak akan memberikan konsesi atau membuat perjanjian lain yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi tanpa izin terlebih dahulu dari Gubernur Sulawesi dan Dependensi atau wakilnya.

Kapal-kapal yang termasuk dalam bentang alam harus dilengkapi dengan sertifikat pendaftaran yang dikeluarkan oleh direktur atau dengan izin tahunan, yang dibuat sesuai dengan peraturan terkait, namun dokumen tersebut tidak akan diterbitkan kecuali dengan persetujuan Gubernur. Celebes dan Tanggungan atau wakil mereka, yang mereka tandatangani untuk tujuan ini, yaitu.

Pasal tiga belas.

Pengelola dan mantri berjanji untuk tidak menyerahkan tanah kepada orang Eropa dan orang asing Timur atau Barat lainnya dan tidak mengizinkan mereka masuk atau menetap di luar pelabuhan di wilayah tersebut, tanpa sepengetahuan dan izin sebelumnya dari pejabat Belanda di dekatnya.

Namun, penduduk pulau akan diizinkan masuk ke dalam wilayah negara tersebut dan kemudian dapat tinggal di sana tanpa sepengetahuan dan persetujuan sebelumnya, selama mereka tidak mengganggu ketertiban dan perdamaian: masa tinggal mereka di pelabuhan-pelabuhan tersebut selama lebih dari tiga bulan akan ditentukan. oleh Pengelola dan mentri.

pengetahuan harus diperoleh dari pejabat komandan Belanda terdekat.

Pemerintah Hindia Belanda mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan peraturan tersebut kapan saja sehubungan dengan penerimaan dan penempatan orang Tionghoa dan orang Timur Asing lainnya di suatu wilayah karena hal tersebut merupakan kepentingan umum Hindia Belanda atau kepentingan khusus dari wilayah tersebut. lanskap akan dianggap perlu.

Orang-orang yang telah keluar dari dinas militer atau maritim Pemerintah tanpa izin, buronan narapidana atau penjahat dan sejenisnya tidak akan ditoleransi dalam keadaan apa pun oleh Pengelola, namun akan segera diekstradisi ke Pemerintah jika mereka muncul di sana, dan ini bahkan tanpa tuntutan ekstradisi mereka dalam hal apa pun.

Pasal empat belas.

Hak untuk memberikan izin untuk melakukan eksplorasi pertambangan, serta memberikan konsesi pertambangan dan eksploitasi pertanian dan hutan di wilayah lanskap sepenuhnya berada di tangan Pemerintah, namun akan selalu berkonsultasi dengan Pemerintahan Adat. dalam hal ini terlebih dahulu dan, terlebih lagi, akan dilakukan penyelidikan terlebih dahulu terhadap hak-hak pihak ketiga atas tanah yang diperlukan untuk eksplorasi pertambangan, pengembangan tambang, pertanian atau eksploitasi hutan, sedangkan dalam hal pelepasan tanah tersebut akan dipastikan kompensasi yang adil oleh penerima hibah.

Dari pajak dan biaya tetap yang harus dipungut oleh Pemerintah atas konsesi pertambangan dan dari sewa atau sewa yang dikumpulkan oleh perusahaan pertanian atau eksploitasi hutan, setengahnya akan selalu dilepaskan untuk kepentingan pemerintahan sendiri.

Pemerintah selanjutnya mempunyai hak untuk memulai dan melanjutkan eksplorasi penambangan, operasi penambangan dan eksploitasi pertanian atau hutan di kawasan lanskap atas biayanya sendiri, dengan memberikan kompensasi yang adil, jika ada alasan untuk melakukannya.

Peraturan dan ketentuan yang diambil atau akan dikeluarkan oleh badan legislatif Hindia Belanda mengenai eksplorasi dan eksploitasi bahan galian, serta penangkapan ikan, cangkang mutiara. cangkang mutiara dan tripang merupakan kekuatan penghubung (mata pencahrian) bagi lanskap dan penghuninya.

Pasal lima belas.

uang yang berasal dari pemerintahan sendiri akibat konsesi pertambangan, eksploitasi lahan dan hutan, serta pendapatan yang akan ditentukan melalui konsultasi dengan Gubernur Celeles dan Dependensi, disimpan ke dalam dana lanskap, yang dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran untuk kepentingan tersebut. tanah dan manusia.

Dana yang terakhir ini diatur oleh Gubernur Sulawesi dan Dependensi.

Pasal enam belas.

Tanpa izin Pemerintah, pengelola dan mantri tidak akan memungut pajak apa pun selain yang tercantum dalam pernyataan Huruf B yang terlampir pada kontrak ini dan oleh karena itu, tanpa izin tersebut, akan memungut pajak tersebut, baik yang diperoleh dalam bentuk uang, dalam bentuk barang atau dalam bentuk barang. dalam persalinan, dalam keadaan apa pun tidak boleh ditambah atau diperberat.

Pengelola dan mantri secara umum berjanji untuk memastikan dan memastikan bahwa tidak ada pungutan berlebihan atau melanggar hukum, dengan nama apa pun dan oleh siapa pun, yang dituntut terhadap penduduk di lanskap tersebut.

Pajak-pajak yang dijelaskan di atas, kecuali hak impor dan ekspor serta sewa, jika ada, tidak akan berlaku.

berlaku untuk subyek langsung Pemerintah.

Pemerintah berhak mengambil alih pajak yang ada sewaktu-waktu sebagai kompensasi.

Pasal tujuh belas.

Hak memungut pajak selain yang dimaksud pada pasal sebelumnya berada pada Pemerintah.

Segala peraturan dan ketentuan yang diambil atau akan dikeluarkan lebih lanjut oleh Pemerintah, mengenai hak-hak, pajak-pajak dan sewa-menyewa, dan pada umumnya mengenai semua pendapatan Pemerintah, bagaimanapun sebutannya, juga akan mempunyai kekuatan mengikat bagi penduduk tanpa membedakan tempat-tempat di tanah itu, dimana pendapatan tersebut diterima oleh Pemerintah.

Pengelola dan mantri menyatakan secara khusus bahwa mereka tunduk pada semua peraturan yang selanjutnya dapat disetujui oleh Pemerintah Hindia Belanda mengenai pengenaan bea masuk terhadap kapal-kapal yang singgah di pelabuhan-pelabuhan di pedesaan, serta terhadap barang-barang yang diimpor dan diekspor ke sana. .

Pemerintah Hindia Belanda mempunyai hak untuk mengenakan semua pajak yang dianggap perlu kepada subyek langsungnya.

Pasal delapan belas.

Warga negara di lanskap Sanggar dianggap sebagai semua orang, apa pun sifatnya, yang tinggal di lanskap tersebut dan tidak termasuk dalam kategori apa pun yang ditentukan dalam pasal berikut.

Pasal sembilan belas.

Di lanskap Sanggar, berikut ini yang dianggap sebagai subjek langsung dari Kegubernuran:

1° semua orang Eropa dan orang-orangnya diperlakukan seperti itu:

2°. semua pelayan orang-orang Eropa dan orang-orang yang diperlakukan seperti itu, kecuali meraka, yang termasuk dalam penduduk asli provinsi Sulawesi dan Dependensi, tetapi termasuk penduduk asli sepanjang mereka adalah penduduk asli Kristen, dan bukan termasuk dalam penduduk wilayah mereka sendiri. :

3°. semua orang, apapun kewarganegaraannya, berada di dalam batas-batas lembaga pemerintah, 4°. semua orang yang bekerja pada Pemerintah, tanpa memandang negaranya:

5°. semua mantan pegawai Pemerintah, kecuali mereka yang merupakan penduduk asli di Kegubernuran Sulawesi dan Dependensi, namun termasuk penduduk asli sepanjang mereka adalah penduduk asli Kristen, dan bukan merupakan penduduk asli wilayah tersebut.

6°. semua orang Tionghoa, Arab dan Orang Asing lainnya;

7°. semua orang yang tidak terkait dengan fungsi internal Kegubernuran Sulawesi dan Dependensi yang didirikan di perusahaan-perusahaan yang dijalankan oleh warga negara Pemerintah, serta semua orang lain, tanpa membedakan kewarganegaraan, yang bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut berdasarkan perjanjian-perjanjian yang dibuat dengan mereka pengusaha berdasarkan ketentuan yang ada mengenai hal ini, dengan demikian tunduk pada yurisdiksi pengadilan dan hakim Pemerintah.

Jika mereka diduga melakukan kejahatan atau pelanggaran di lingkungan Sanggar, maka mereka akan diserahkan kepada perwakilan Pemerintah oleh pengurus dan mantri.

Pasal dua puluh.

Warga negara gubernur juga tunduk pada yurisdiksi pengadilan dan hakim Pemerintah yang, bersama dengan warga negara Pemerintah, bersalah atas kejahatan atau pelanggaran, melakukan kejahatan terhadap Pemerintah, pejabatnya, personel militer atau subyek lain atau dengan berkenaan dengan harta bendanya atau harta benda rakyatnya, yang sedang berperkara dalam urusan perdagangan dan perindustrian atau perkara perdata lainnya yang melibatkan rakyat Pemerintah dan mereka. yang bersalah melakukan kejahatan dan pelanggaran terhadap peraturan dan ketentuan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan berlaku bagi warga negara direktur.

Pejabat Pemerintah bertanggung jawab untuk menyelidiki kejahatan dan pelanggaran tersebut di atas dan akan selalu dibantu semaksimal mungkin oleh Pengelola dan mantri. 

Pengelola dan mantri akan selalu menghormati hukuman yang dijatuhkan pada rakyatnya dalam kasus di atas dan akan mendorong pelaksanaannya.

Pasal dua puluh satu

Dalam hal menurut ketentuan pasal yang lalu, direktur yang berkewarganegaraan itu diadili di hadapan pengadilan Pemerintah Hindia Belanda, maka ia diberi kuasa untuk duduk sendiri atau melalui wakilnya yang sah di pengadilan di mana ia masalah pelakunya ditangani untuk mengungkapkan perasaannya tentang hal itu.

Pasal dua puluh dua.

Tanggung jawab polisi dalam lanskap terletak pada pengelola dan mantri, yang oleh karena itu bertanggung jawab atas ketertiban dan perdamaian di negara mereka dan bertanggung jawab atas penyelidikan kejahatan dan pelanggaran, dengan pengecualian luas lahan untuk pembangunan atau penguatan. menyerah.

Sejauh menyangkut kepala-kepala suku Tiongkok yang didirikan dalam lanskap di bawah kendali mereka sendiri oleh atau atas nama Pemerintah, pengelola berwenang untuk meminta bantuan dan intervensi dari kepala-kepala tersebut sehubungan dengan kepolisian ini.

Pasal dua puluh tiga.

Kekuasaan pengelola dan mantri terbatas pada penduduk wilayah sanggar yang bukan merupakan subyek pemerintah dan tunduk pada ketentuan yang telah diatur dalam pasal dua puluh.

Kasus perdata ditangani menurut kebiasaan nasional.

Dalam kasus-kasus pidana, prinsip yang dianut adalah bahwa setiap penjahat harus dihukum sesuai dengan hukum dan di negara di mana ia melakukan kejahatan atau pelanggarannya, kecuali hukuman mutilasi atau penyiksaan, termasuk hukuman pemukulan, tidak boleh diterapkan.

Hak untuk mengeluarkan orang dari kawasan lanskap karena alasan politik sepenuhnya berada pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, kecuali kewenangan pengelola untuk mengajukan usulan tindakan tersebut kepada Gubernur Sulawesi dan Dependensi.

Namun, pengelola dan mantri mempunyai kewenangan untuk melakukan pemindahan dari lanskap sebagai hukuman atas kejahatan yang dilakukan di lanskap terhadap orang-orang yang termasuk dalam wilayahnya.

Dalam kasus-kasus tersebut, setelah pembelaan terdakwa didengarkan dengan baik, pengusiran diperintahkan melalui surat perintah resmi yang dikeluarkan oleh direktur dan petugas anti-monopoli, yang, bagaimanapun, harus dilaksanakan oleh 11 orang harus disetujui oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang juga menentukan tempat pengasingannya.

pelanggaran-pelanggaran yang mana terdakwa dihukum oleh anggota dan mantri untuk melakukan kerja paksa dan diasingkan ke luar wilayah selama jangka waktu kerja paksa tersebut berlangsung, tidak harus mendapat persetujuan dari Gubernur Jenderal, namun diselesaikan melalui campur tangan Pemerintah. Gubernur Celebes dan Dependensi diajukan ke Direktur Kehakiman untuk dijatuhi hukuman.

Gubernur Jenderal dapat memberikan pengampunan atas hukuman yang dijatuhkan oleh atau atas nama direktur.

Pasal dua puluh empat.

pengelola dan mantri berjanji untuk selalu menjaga jalan-jalan yang ada di negara mereka dalam kondisi baik dan, jika Pemerintah menghendaki, akan membangun jalan baru melalui negara mereka.

Pasal dua puluh lima.

Di wilayah Sanggar, perbudakan, pencurian manusia, serta impor dan ekspor budak dilarang dan aktivitas kriminal ini tidak akan ditoleransi oleh pengelola dan mantri di negara mereka dan akan dilawan dengan segala cara yang mereka miliki.

Direktur dan para mantri berjanji untuk bekerja sama dengan penuh semangat dalam penghapusan pandeling secara bertahap selama pandeling masih ada di negara mereka.

Pasal dua puluh enam.

Gubernur dan para mantri akan dengan penuh semangat melawan dan memberantas perampokan laut dan sungai dengan segala cara yang dapat mereka lakukan dan tidak akan memberikan perlindungan atau bantuan atau kerja sama lainnya dalam bentuk apa pun, dan tidak akan membiarkan perampokan laut atau sungai itu diberikan kepada mereka atau orang-orang yang mereka miliki. diketahui atau ditunjuk untuk menjalankan bisnis tersebut atau untuk terlibat di dalamnya.

Mereka akan mengekstradisi mereka yang dinyatakan bersalah atau menjadi kaki tangan kepada Gubernur Celebes dan Dependensi atau mengeksekusi mereka sesuai dengan hukum dan lembaga negara, tergantung pada apakah mereka yang bersalah atau menjadi kaki tangan berada di bawah yurisdiksi Pemerintah.

Pasal dua puluh tujuh.

anggota dan mantri berjanji untuk memberikan bantuan kepada semua kapal dan kapal yang mungkin mengalami kesulitan di sepanjang pantai atau di sepanjang tepi sungai di wilayah lanskap Sanggar, untuk merawat orang-orang yang karam dan tidak merawat siapa pun. dari mereka, untuk mengambil alih barang-barang tersebut, atau menoleransi bahwa siapa pun, siapa pun, harus mengambil alih barang-barang tersebut. Mereka berjanji untuk menyelamatkan, atau untuk kepentingan pihak yang berkepentingan menjualnya kepada publik jika tidak dapat disimpan.

Direktur dan Mantri akan segera memberitahukan kepada pejabat pemerintah terdekat mengenai terdamparnya kapal dan kapal atau masuknya barang-barang yang diambil dari pantai atau dari sungai.

pengelola dan mantri dapat menuntut upah tambahan dan tambahan, yang besarnya mereka perkirakan sendiri sesuai dengan usaha yang dilakukan.

Mereka harus segera memberitahu Gubernur Sulawesi dan Dependensi mengenai anggaran ini, yang, setelah mendengarkan pengelola, Mantri dan pihak-pihak berkepentingan lainnya, diberi wewenang untuk mengubahnya sesuai keinginannya.

Selanjutnya, jika mereka merasa terbebani dengan anggaran tersebut, baik diubah atau tidak oleh Gubernur Sulawesi dan Dependensi, mereka yang terlibat, melalui campur tangan Gubernur tersebut, dapat meminta keputusan Gubernur Jenderal, yang mana keputusan tersebut diambil oleh direktur dan mantris. akan menyerahkan.

Pasal dua puluh delapan.

Peraturan dan ketentuan yang dikeluarkan Pemerintah mengenai:

A. impor, ekspor dan transit senjata api, bubuk mesiu dan amunisi;

B. perlindungan jalur dan kabel telegraf serta lalu lintas telegraf.

Pasal dua puluh sembilan.

Direktur dan mantri mengakui bahwa akibat kontrak ini, seluruh perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan pengelola bentang alam Sanggar - sepanjang bertentangan dengan kontrak yang ada - telah berakhir.

Demikianlah disepakati pada hari dan tahun yang disebutkan dalam pembukaan ini di Bima, dibuat dalam rangkap tiga, ditandatangani, disegel dan disumpah dengan khidmat oleh gubernur bentang alam Sanggar dan para mantrinya di hadapan saya, Gubernur Sulawesi dan Dependensi. , diwakili di sini oleh Henry de Vogel Mathieu Henrizoun, Pengendali yang bertugas di Gubernur Sulawesi dan Dependensi untuk kontak politik dengan Pemerintahan Sendiri.

Kontrak ini telah disetujui dan diratifikasi hari ini, 28 Agustus 1906; dengan syarat Pengurus dan Penguasa Sanggar menyetujui perubahan dan penambahan yang dilakukan dengan tinta merah pada teks Belanda Pasal 8 ayat 2 dan Pasal 25 ayat 1 serta pada teks Arab Melayu seluruh pasal, dengan tujuan agar klarifikasi dan perbaikan serta menjadikan teks Melayu lebih sesuai dengan teks Belanda, dan bahwa mereka menunjukkan perjanjian ini melalui pernyataan yang ditandatangani dan disegel untuk diserahkan di bawah ini.

Kami Gubernur dan Warga Besar Sanggar dengan ini menyatakan setuju dengan teks bertinta merah pada teks Belanda Pasal 8 ayat 2 dan Pasal 25 ayat 1 serta teks Melayu seluruh pasal pemerintahan ini.

amandemen-amandemen dan penambahan-penambahan yang dibuat berdasarkan persetujuan, dimaksudkan untuk memperjelas dan memperbaiki serta menjadikan teks Arab Melayu lebih selaras dengan teks Belanda, yang buktinya pernyataan ini dibubuhi tanda tangan dan stempel kami.

Di sini terdapat stempel dan tanda tangan Raja Sanggar serta tanda tangan para penguasa besar di wilayah tersebut.

PERNYATAAN Huruf A milik Pasal 2 kontrak tanggal 30 Desember 1905.

Bentang alam Sanggar terdiri dari kerajaan dengan nama yang sama, terdiri dari dessa Koreh, Pioeng dan Taloko, setelah penggalian besar-besaran di gunung berapi Tanmbora, diperbesar oleh negara Tambora yang saat itu tidak berpenghuni sama sekali.

Bima, 30 Desember 1903.

Di sini terdapat stempel dan tanda tangan Gubernur Sanggar, serta tanda tangan para petinggi negaranya.

PERNYATAAN Huruf B yang termasuk dalam Pasal 16 kontrak bertanggal dengan Pemerintahan Sendiri Lanskap Sanggar. 30 Desember 1905.

Di lanskap Sanggar tidak ada pajak maupun bea masuk dan ekspor.

1. Monopoli Raja hanya ada jika:

a. menebang kayu kuning yang harus dijual kepada raja dengan harga 2,50 gulden per picol (hasil tahunan + 100 picol),

b. mengumpulkan lilin lebah yang harus dijual kepada raja dengan harga kurang lebih 40 gulden per picol.

2. Tenaga kerja tidak berbayar yang diminta penduduk digunakan untuk:

a. mengolah sawah dan tanah raja lainnya.

b. melaksanakan tugas jaga di raja yang ditunjuk orang yang harus mengabdi 7 hari berturut-turut sebulan sekali. Oleh karena itu, tugas pria tersebut berjumlah sekitar 90 hari shift per orang per tahun.

Bima, 30 Desember 1905.

Isi perjanjian ini menetapkan bahwa pengelola wilayah Sanggar dan para bangsawannya menyerahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda hak untuk memungut berbagai jenis pajak dan biaya di wilayah tersebut, termasuk bea masuk dan keluar, bea cukai, serta biaya pelabuhan. Sebagai ganti hak ini, Pemerintah Hindia Belanda berjanji untuk membayar ganti rugi kepada pengelola wilayah Sanggar. Ganti rugi ini akan dibayarkan setiap tahun kepada direktur pemerintahan Sanggar dan konstituennya.

Perjanjian ini juga memberikan wewenang kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk menetapkan peraturan terkait sumber pendapatan yang disebutkan dalam perjanjian dan untuk mengatur pelaksanaan pengelolaan pelabuhan dan polisi pelabuhan. Selain itu, perjanjian ini menetapkan bahwa Gubernur Sanggar dan warga negaranya harus memastikan tidak ada hambatan terhadap perdagangan dalam negeri.

Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 30 Juni 1906 dan disetujui oleh kedua belah pihak.

PERJANJIAN TAMBAHAN diakhiri dengan persetujuan lebih lanjut dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda antara HENRY DE Vogel MATHIEU HENRIZOON, Pengendali yang ditugaskan oleh Gubernur Sulawesi dan Dependensi untuk kontak politik dengan badan-badan pemerintahan sendiri dalam hal ini, bertindak untuk dan atas nama Pemerintah Hindia Belanda dan ABDULLAH penguasa wilayah Sanggar beserta para penguasanya.

Karena sudah dianggap perlu bahwa pengelola wilayah Sanggar dan para bangsawannya menyerahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda sebagai imbalan atas kompensasi hak untuk memungut bea masuk dan ekspor serta pajak; iuran pelabuhan dan berlabuh, serta mengakui hak Pemerintah untuk melaksanakan pengelolaan pelabuhan dan polisi pelabuhan di kawasan lanskap Sanggar.

Dengan demikian, pada hari ini, tanggal 30 Desember 1905, dengan persetujuan lebih lanjut dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda, HENRY DE Vogel MATHIEU HENRIZOONN, Pengendali berada di tangan Gubernur Sulawesi dan Dependensi untuk melakukan kontak politik dengan pemerintahan sendiri. sebagai wakil Pemerintah Hindia Belanda dan Äbdullah, pengelola bentang alam Sanggar dan para penguasanya, sepakat sebagai berikut:

Pasal 1.

Pengelola bentang alam Sanggar beserta para bangsawannya dengan ini menyerahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda:

1. hak memungut bea masuk dan keluar serta bea cukai di wilayah lanskap Sanggar;

2. hak untuk memungut biaya pelabuhan dan penjangkaran atau pungutan pelayaran lainnya di dalam dan di pelabuhan dan jalan yang termasuk dalam kawasan bentang alam Sanggar dan mengakui hak Pemerintah untuk melaksanakan pengelolaan pelabuhan dan polisi pelabuhan di pelabuhan dan atas dasar pelabuhan Lanskap Sanggar, selain sarana pendapatan yang disebutkan di atas, mengeksploitasi untuk keuntungannya sendiri semua sarana pendapatan lain yang sewaktu-waktu dianggap berguna atau diinginkan.

Pasal 2.

Pemerintah Hindia Belanda menyatakan menerima sarana penghasilan yang secara khusus disebutkan dalam Bagian 1 dan berjanji untuk membayar ganti rugi kepada direktur pemerintahan Sanggar dan konstituennya sampai jumlah gabungan sebesar 300 gulden (tiga ratus gulden). tahun.

Pasal 3.

Dari imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, akan dibayarkan sebesar 150 gulden (seratus lima puluh gulden) per tahun kepada direktur lanskap Sanggar dan sebesar 75 gulden (75 gulden) per tahun. besar negara, sedangkan sejumlah 75 gulden (tujuh puluh lima gulden) disetorkan ke dana lanskap (kerajaan).

Bagian masing-masing negara bagian besar dalam jumlah yang menjadi haknya ditentukan oleh pengelola lanskap Sanggar dengan berkonsultasi dengan Gubernur Sulawesi dan Dependensi.

Pembayaran ganti rugi akan dilakukan dalam dua belas kali angsuran bulanan yang sama.

Pasal 4.

Pemerintah Hindia Belanda berhak untuk memberlakukan semua peraturan dan ketentuan yang mungkin sesuai dan diinginkan sehubungan dengan sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan sehubungan dengan pelaksanaan pengelolaan pelabuhan dan polisi pelabuhan.

Pasal 5.

Gubernur lanskap Sanggar juga akan tunduk pada peraturan dan ketentuan ini dan pelanggarannya akan diadili oleh pengadilan dan hakim Pemerintah Hindia Belanda.

Pengelola lanskap Sanggar dan konstituennya berjanji untuk memberikan bantuan dan bantuan semaksimal mungkin dalam memerangi dan mendeteksi pelanggaran-pelanggaran ini, untuk membuat para pelanggar yang ditangkap tersedia bagi pengadilan dan hakim Pemerintah dan untuk selalu bekerja sama sesuai kemampuan terbaik mereka dalam hal ini. pelaksanaan keputusan yang mereka ambil dalam hal ini.

Pasal 6.

Gubernur Sanggar dan warga negaranya akan memastikan, dengan segala cara yang mereka miliki, bahwa tidak seorang pun, apa pun yang terjadi, tidak akan memberikan hambatan apa pun terhadap perdagangan dalam negeri yang bebas.

Pasal 7.

Persetujuan ini mulai berlaku pada tanggal yang ditentukan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Akta perjanjian ini dibuat rangkap tiga pada tanggal sebagaimana diuraikan di atas dan ditandatangani serta dimeteraikan oleh kedua belah pihak.

Di sini terdapat tanda tangan dan stempel penguasa Sanggar, serta tanda tangan para pemuka wilayah itu.

Perjanjian ini telah disetujui dan diratifikasi pada tanggal 30 Juni 1906.

Pada akhir tahun 1926, Raja Abdullah, penguasa yang dihormati dari wilayah Sanggar, telah berpulang ke Rahmatullah. Berita ini menyebabkan duka mendalam bagi penduduk setempat yang telah lama menghormati dan menghargai kepemimpinannya.

Meskipun Raja Abdullah telah mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, tantangan besar masih terus ada. Salah satu di antaranya adalah kurangnya perhatian terhadap pendidikan yang layak bagi putra-putra dan putri-putri kepala suku di wilayah ini.

Namun, ada sinar harapan di tengah tantangan ini. Berkat upaya yang gigih dari Pemerintahan Eropa, beberapa kemajuan signifikan telah terjadi dalam bidang pendidikan. Pemerintah memberikan dukungan finansial untuk pelatihan kepemimpinan yang berkualitas bagi para generasi muda yang memenuhi syarat. Langkah-langkah ini diharapkan akan membawa perubahan positif dalam meningkatkan taraf pendidikan dan mempersiapkan pemimpin masa depan yang terampil dan berpendidikan.

Berikut adalah daftar nama-nama Raja Kerajaan Sanggar berdasarkan literatur yang ada:

1. Buton Pangula ( - 1674 -...?)

2. Kalongkong Hasanuddin / Affan Nurdin / Abdul Sulaiman (1701 - 1704)

3. Daeng Pamali (1704-17..)

4. Muhammad Jahotang Johan Syah (1765-17..)

5. Adam Safiullah (17..-1790)

6. Muhammad Sulaiman (1790-1805)

7. Ismail Ali (1805-18..)

8. La Lira Daeng Jai (18..-1836)

9. Daeng Malabba (1836 - 1845)

10. Kari/(Kore?) Daeng Leo (1845-..)

11. Yunus Muhammad Manga Daeng Manassa (1845 - 1869)

12. La Kamena Daeng Anjong (1869-1900)

13. Abdullah (1901 - 1926)

Struktur pemerintahan Kerajaan Sanggar juga mencakup beberapa jabatan utama, yaitu:

1. Bumi Tuwa

2. Bumi Wula

3. Bumi Luma

4. Raja Bicara

5. Syahbandar

6. Boemi Kadong.

7. Boemi Tróepoe Rasanaë.

8. Boemi Tróepoe Towang.

9. Boemi Gnojo.

10. Imam (Lebe).

11. Boemi Sari Taloko.

12. Boemi Sari Piong

13. Boemi Sari Towang.

Jabatan-jabatan ini mewakili struktur pemerintahan yang mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat dan administrasi di dalam Kerajaan Sanggar.

Berikut adalah daftar nama Camat (sebelumnya disebut Jeneli) Sanggar dari masa ke masa:

1. Abdullah Bin Muhammad Qurais (1928-1929)

2. Ahmad daeng Niwu (1929-1930)

3. Abdollah Rato Poro (1930-1931)

4. Muhammad Bin Tua Ame (1932-1933)

5. Idris M. Jafar (1933-1936)

6. Abdullah Tayeb Daeng Dole Timu (1936-1937)

7. H. Abidin (1937-1940)

8. Muhammad Amin Daeng Emo (1941-1946)

9. Abdollah Daeng Tanga (1946-1948)

10. Abd. Rachim Daeng Nggempo (1948-1950)

11. Ahmad Daeng La Anggo (1950-1951)

12. Abdollah Ahmad (1951-1952)

13. Sahidu (1952-...)

14. Abdollah Ahmad (1952-1954)

15. M. Yakub Abdullah (1954-1960)

16. H. M. Saleh Ompu Cenggu (1960-1966)

17. A. Razak Azis (1966-1969)

18. Puasa Kala, BA (1969-1972)

19. A. Razak Azis (1972-1974)

20. H. Muhammad Tayeb Samiun, BA (1974-1976)

21. Abd. Majid, BA (1976-1978)

22. Drs. Ishaka Abdullah (1978-1982)

23. Anwar Murtada, BA (1982-1985)

24. Drs. Ahmad Muthalib (1985-1993)

25. M. Tarfik Yakub, BA (1993-...)

26. Muhammad AR, BA (1993-1998)

27. H. Nursin Ismail, BA (1998-...)

28. Drs. Gunawan (1998-2000)

29. Zunaiddin HI, S. Sos (2000-2004)

30. Syamsurizal. H. Arajak, BBA (2004-2007)

31. M. Umar, BA (2007-2016)

32. Drs. Mahmud Azis (2017-2018)

33. Ahmad, SH (2018-sekarang)

Penggantian nama dari "Jeneli" menjadi "Camat" terjadi pada tahun 1958 saat pembentukan Kabupaten Bima dan wilayah kecamatan Sanggar. Kerajaan Sanggar digabungkan dengan Wilayah Bima pada tahun 1928.

Berikut adalah urutan dan nama Kepala Desa Kore, Kecamatan Sanggar, Kabupaten Bima dari tahun ke tahun (sebelumnya disebut sebagai Daluk):

1. H. Jafar Maman (1937-1939)

2. Ahmad Murtala (1939-1941)

3. M. Jafar Abu (1941-1945)

4. Kako (1945-1948)

5. H. Muhamad Tayeb (1948-1950)

6. H. Ahmad Abu (1950-1959)

7. Jainudin (1959-1964)

8. H. Taamni Hasan (1964-1969)

9. Ismail Hasan (1969-1980)

10. Ismail Jamal (1980-1989)

11. Muhtar Abdullah (1989-1998)

12. H. Idris Tanuang (1998-2007)

13. M. Tayeb Sene (2007-2012)

14. Arahim Ismail (2012-2018)

15. PJ. Junaid Abdullah (2018-2019)

16. M. Tayeb Sene (2020-2025)


Postingan ini, Penulis dengan sengaja tidak mencantumkan sumber, namun tulisan ini di rangkum dari fanspage Facebook penulis sendiri (Sanggar History Time Line), untuk menjaga agar tidak terjadi copy paste konten karena masih tahap penelitian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Download Buku Modul Ujian CPNS dan PPPK Tahun 2024 Hingga Buku Cetakan Lama dalam Format PDF

Persiapan ujian CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) dan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) menjadi fokus utama bagi ribuan calon pegawai negeri di Indonesia. Salah satu sumber daya yang paling berharga adalah buku modul dan materi ujian dalam format PDF, dengan kemajuan teknologi, memperoleh akses ke sumber-sumber ini menjadi lebih mudah. Di bawah ini adalah buku modul ujian CPNS dan PPPK tahun 2024 hingga buku cetakan lama dalam format PDF. 1. Buku SKD CPNS 2023-2024 PDF => Klik disini 2. Buku SKD CPNS 2019-2020 PDF =>  Klik disini 3. Buku SKD CPNS 2018-2019 PDF =>  Klik disini =>  Klik disini =>  Klik disini 4. Buku SKD CPNS - Cetakan Lama PDF =>  Klik disini =>  Klik disini =>  Klik disini 5. Kumpulan Buku dan Materi TWK PDF =>  Klik disini =>  Klik disini =>  Klik disini =>  Klik disini =>  Klik disini =>  Klik disini 6. Materi TIU PDF =>  Klik disini 7. Materi TKP PDF =>  Klik disini Catatan : Jika ada link yang rusak, s

Apa itu bitcoin halving?

Bitcoin Halving  adalah peristiwa yang terjadi setiap empat tahun sekali di jaringan Bitcoin. Blockchains membutuhkan waktu sekitar 4 tahun untuk membuka 210.000 blok lagi, sebuah standar yang ditetapkan oleh pencipta blockchains  untuk terus  mengurangi tingkat pengenalan mata uang. Awalnya, ketika Bitcoin diluncurkan pada tahun 2009, para penambang menerima hadiah sebesar 50 bitcoin untuk setiap blok yang berhasil di Tambang. Namun, setelah acara halving pertama pada tahun 2012, hadiah ini dikurangi menjadi 25 bitcoin per blok. Halving berikutnya terjadi pada tahun 2016 dan 2020, yang selanjutnya dikurangi menjadi 12,5 bitcoin dan kemudian menjadi 6,25 bitcoin. Tujuan Dari Bitcoin Halving  Tujuan dari Bitcoin halving adalah untuk mengontrol pasokan bitcoin baru yang memasuki sirkulasi dan untuk memastikan bahwa total pasokan bitcoin dibatasi. Dengan mengurangi laju penciptaan bitcoin baru, peristiwa pengurangan sebagian membantu menjaga kelangkaan dan mencegah inflasi. Mekanisme ini

Cara Menginstal Amass pada Termux: Langkah-langkah untuk Menggunakan Alat Pengumpul Informasi Open Source

Menginstal Amass pada Termux, Anda dapat mengikuti langkah-langkah berikut: 1. Persiapkan Termux    Pastikan Termux telah terinstal di perangkat Android Anda. Jika belum, Anda dapat mengunduhnya dari Google Play Store. 2. Perbarui Paket:    Buka Termux dan jalankan perintah berikut untuk memastikan bahwa paket Termux Anda diperbarui: pkg update && pkg upgrade 3. Instalasi Dependensi    Amass memerlukan beberapa dependensi agar dapat berjalan. Anda perlu menginstal Go, git, dan clang terlebih dahulu. Jalankan perintah-perintah berikut: pkg install golang git clang 4. Konfigurasi Lingkungan Go    Setelah menginstal Go, Anda perlu mengatur variabel lingkungan `GOPATH` dan `PATH`. Anda dapat melakukannya dengan menjalankan perintah berikut: mkdir ~/go export GOPATH=~/go export PATH=$PATH:$GOPATH/bin    Anda juga dapat menambahkan perintah-perintah di atas ke dalam file `.bashrc` atau `.bash_profile` agar konfigurasi ini tersedia setiap kali An

Membangun Tools Sederhana untuk Menerjemahkan Teks dengan Python Menggunakan Google Translate API

Dunia era sekarang ini sudah terhubung secara digital, kemampuan untuk berkomunikasi lintas bahasa adalah keterampilan yang sangat berharga. Namun, seringkali kita menemui teks dalam bahasa yang tidak kita pahami. Untungnya, dengan bantuan teknologi, kita dapat dengan mudah menerjemahkan teks dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Dalam artikel ini, kita akan mempelajari cara membangun tools sederhana menggunakan bahasa pemrograman Python dan Google Translate API untuk menerjemahkan teks dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Pertama-tama, kita akan membutuhkan library `googletrans` yang memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan Google Translate API. Pastikan untuk menginstal library ini sebelum memulai, script ini bisa berjalan di Terminal Linux, Termux, maupun Pydroid. pip install googletrans==4.0.0-rc1 Setelah library diinstal, kita dapat memulai pembangunan tools sederhana kita. Berikut adalah kode Python untuk menerjemahkan teks: from googletrans import Translator